Search This Blog

Wednesday, February 9, 2011

Meratapi Palestina, Mengasihani Israel

06/08/2010 15:46
Reza Indragiri Amriel

Masa depan bangsa Palestina sepertinya masih jauh dari pasti. Tidak usah bicara tentang kesejajaran kedaulatan Palestina dengan negara-negara lainnya. Perdamaian negatif, dalam pengertian sebatas berhentinya perang, pun entah kapan akan menjadi kenyataan. Hitung-hitungan saya di atas bukan berlandaskan pada kalkulasi politik yang kompleks. Pun bukan terkait dengan masalah batas teritorial, persenjataan, dan unsur-unsur strategis politik keamanan lain.

Pesimisme saya dalam memprediksi masa depan Palestina didasarkan pada dua peristiwa tragis triwulan awal tahun ini yang tak banyak ketahui publik. Pada Maret lalu, Moshe Yatom, psikiater ternama Israel, mati dengan lubang peluru di kepalanya. Ironis; seorang praktisi kejiwaan yang mendedikasikan puluhan tahun hidupnya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan psikologis medis, akhirnya memilih jalan kematian yang tragis.

Bunuh diri umumnya dilatar-belakangi guncangan batiniah dahsyat semacam depresi. Ada pula yang berkaitan dengan simtom skizofrenia, ketika si pelaku  sebelumnya merasa telah mendengar bisikan untuk mengakhiri hidupnya. Tapi Yatom barangkali berbeda dengan kelaziman yang ada. Yatom dikenal sebagai individu dengan kepribadian yang utuh. Sebagai psikiater, Yatom dikenal berhasil menangani banyak kasus skizofrenia. Dari situ, bisa dibayangkan, ambruknya psikiater sekaliber Yatom niscaya disebabkan oleh sebab-musabab yang sangat mengguncang.

Bunuh dirinya Yatom mengirim pesan tak langsung tentang Palestina. Pesan yang amat buruk. Pasalnya, Yatom mengaku, dia bunuh diri akibat tidak tahan menghadapi kegilaan kliennya yang tak lain adalah Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu!  "Aku tidak sanggup lagi," tulis Yatom di secarik kertas yang tergeletak di samping jasadnya. Yatom menyebut Netanyahu sebagai lubang hitam yang penuh dengan kontradiksi. "Freud [Bapak Psikoanalisa] percaya bahwa akal sehat akan menaklukkan dorongan-dorongan instinktif, tapi dia pasti akan berubah pikiran andaikan dia pernah berjumpa Netanyahu," lanjut Yatom.

Tanpa harus merujuk pada catatan terakhir Yatom, dunia sebenarnya sudah tahu brutalitas telanjang yang ada pada mental dan perilaku Netanyahu. Tapi tulisan Yatom tak ayal memberikan keyakinan yang tak terbantahkan tentang kesintingan perdana menteri dari partai Likud itu.

Sebelum bunuh diri, Yatom beberapa kali terserang stroke akibat ucapan Netanyahu, kliennya. Stroke pertama terjadi ketika Netanyahu menganggap serangan teror 11 September 2001 sebagai "bagus." Stroke berikutnya, saat Netanyahu menyamakan Iran dengan Nazi Jerman. Stroke ketiga, tatkala Bibi (panggilan akrab Netanyahu) menyebut program energi Iran sebagai "kamar gas terbang" dan semua orang Yahudi "hidup selamanya di Auschwitz."

Menarik untuk ditunggu, sebuah buku berjudul Psychotic On Steroids. Di sana, Yatom bercerita panjang lebar tentang sesi-sesi terapinya saat menangani Netanyahu. Barangkali Psychotic On Steroids akan menjadi buku profil psikologis yang kedahsyatannya setara dengan psikobiografi tentang Adolf Hitler karya psikolog Gordon W. Allport tahun empat puluhan silam.

Moshe Yatom bukan satu-satunya psikiater Israel yang ’kalah’ saat menerapi tokoh besar Israel. Kurang lebih sepekan setelah Yatom mendor kepalanya sendiri, giliran Yigal Peleg, kolega Yatom, yang juga tutup usia dengan cara bunuh diri. Peleg secara sengaja mengonsumsi valium dalam dosis besar.

Catatan yang ditinggalkan Peleg menunjukkan betapa ia telah merasa gagal menerapi kliennya yang—lagi-lagi—nama besar di Israel. Klien Peleg adalah mantan perdana menteri yang kini menjabat sebagai menteri pertahanan Israel: Ehud Barak! Kematian Peleg menambah kegalauan di kalangan psikologi dan psikiatri Israel. Pasalnya, banyak dari mereka yang kepayahan menangani klien-klien pemilik doublethinkDoublethink ditandai oleh adanya keteguhan yang kokoh pada dua keyakinan yang sebenarnya bertolak belakang. Dua hal yang saling berlawanan justru melebur tak terpisahkan dalam alam berpikir individu.

Kelompok terbesar di Israel yang banyak mengalami doublethink adalah kalangan politisi dan pejabat keamanan. Begitu serius dan khasnya gangguan kejiwaan para petinggi Israel, sampai-sampai ada diagnosis khusus yang berlaku hanya di negeri penjajah itu: Security Addiction Disorder (SAD) atau Gangguan Candu akan Keamanan!

Ehud Barak adalah salah satu klien Peleg yang didiagnosis menderita SAD. Padahal, pada masa silam, Barak, dari Partai Buruh, sempat dinilai oleh sebagian kalangan sebagai pemimpin Israel yang lebih berorientasi damai. Bila Barak yang "cinta damai" saja mengidap SAD, apalagi yang lebih keji ketimbang dirinya.

* * *

Bagi Israel, keamanan merupakan kebutuhan yang sangat vital. Menghubungkannya dengan teori klasik tentang Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow, kebutuhan akan rasa aman, termasuk hidup damai dalam ketetanggaan, terletak pada lapis kedua dari dasar piramida kebutuhan manusia. Itu artinya, kebutuhan ini memang sangat fundamental kedudukannya bagi kesinambungan stabilitas psikologis manusia. Tanpa kebutuhan akan rasa aman yang terpenuhi secara optimal, mustahil tercipta pondasi yang kokoh bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan psikologis pada empat tingkatan berikutnya.

Sungguh mengerikan, warga Israel dengan kebutuhan dasar yang tak terpenuhi pada kenyataannya dipimpin oleh orang-orang dengan kelainan psikologis yang parah. Jangankan masyarakat awam, psikiater masyhur Israel pun sampai bunuh diri melayani figur-figur kurang waras itu. Tak melintas di benak, nantinya keamanan macam apa dan dengan cara apa yang bisa dibangun oleh para pemimpin Israel seperti itu. Tambah mencengangkan, kendati mengidap SAD, pemimpin-pemimpin Israel berhasil mendikte sekian banyak negara besar agar bersikap pro pada negeri Zionis itu.

Menyadari bahwa penjajahan dan pembantaian atas bangsa Palestina tak terpisahkan dari gangguan psikologis individu-individu yang memimpin Israel, saya membatin, "Kasihan Palestina, ’kasihan’ Israel."


Penulis adalah dosen Psikologi Kepribadian, Universitas Bina Nusantara, Jakarta

No comments:

Post a Comment