Search This Blog

Friday, March 25, 2011

"In Palestine" by Rich Siegel

IN PALESTINE

Music by Rich Siegel
Lyric by Dave Lippman and Rich Siegel
Copyright 2009, all rights reserved
...Way to Peace Music Publishing, ASCAP

You tell me all peoples need land of their own
All the others have theirs, why not leave us alone?
We bought it, we brought it to bloom in the sun
It's ours- always was

We won't let them take back our homes and our trees
We won't have them driving us into the seas
That's why we are forcing them down on their knees
(pause) But the children are dying in Palestine

You tell me of centuries caught in despair
Pogroms, persecutions, and final solutions
The need of a homeland, safety for Jews
I hear you

You tell me of hatred, of fear and attack
Of enemies everywhere, we must fight back
The border town's under the gun-
(pause) But a hundred to one, the children are dying in Palestine

You say
There can never be peace
'til their outrages cease
Of course, they say the same

You say it's not true that we forced them to leave
That Jews would do that you just cannot believe
The Arabs are treacherous, born to deceive
The hate us

Well, it's true we've been hated, but when we arrive
And take over their country in the name of our surviv-al
Is it any wonder that peace cannot thrive
While the children are dying in Palestine?

Instrumental break

I'm told
Every state has its Jews
Even Jews have their Jews
They've been there all along

You say we must search for some moderate way
We must find a middle ground to save the day
We shouldn't have settlements, they shouldn't prey on our nation

But where is the middle and where the extremes?
We've settled their farmlands and stolen their streams
Our generous offers are not what they seem
And the children are dying in Palestine

We’re trapped in this horror, it won’t go away.
We’ve conquered, but conquering won’t win the day
We inspire their hatred, we watch in dismay
It’s madness

Suppose we did take their land, planned it all along
Can we look at ourselves and admit we’ve done wrong
Can we all live together, can we all belong
Can we stop all this killing in Palestine?

Please God no more children dying in Palestine

Long Live Palestine by Lowkey (Official Video)

Long Live Palestine (by Lowkey)
This is for Palestine, Ramallah, West Bank, Gaza,
This is for the child that is searching for an answer,
I wish I could take your tears and replace them with laughter,
Long live Palestine, Long live Gaza!!
While we listen to tunes, made by ignorant fools,
Israel blocked the UN from delivering food,
They’ll bring in the troops and you won’t even glimpse at the news,
They make money of the products that we are quick to consume,
It’s not simply a question of differing views,
Forget emotions, this is fact, what I spit is the truth,
Makes no difference if you’re a Christian or if you’re a Jew,
They are just people living in different conditions to you,
They still die when you bomb their schools, mosques and hospitals,
It is not because of rockets, please god can you stop it all,
I’m not related to the strangers on the TV,
But I relate because those faces could have been me,
Words can never ever explain the raw tragedy,
It’s not a war they’re just murdering more rapidly,
We are automatically supporting pure savagery,
Imagine how you’d feel if it was your family,

This is for Palestine, Ramallah, West Bank, Gaza,
This is for the child that is searching for an answer,
I wish I could take your tears and replace them with laughter,
Long live Palestine, Long live Gaza,

Palestine remains in my heart forever,
We stand for peace, in times of war we shan’t surrender,
Remember, it didn’t start in that dark December,
Every coin is a bullet, if you’re Mark’s and Spencer,
And when your sipping Coca-Cola,
That’s another pistol in the holster of a soulless soldier,
You say you know about the Zionist lobby,
But you put money in their pocket when you’re buying their coffee,
Talking about revolution, sitting in Starbucks,
The fact is that’s the type of thinking I can’t trust,
Let alone even start to respect,
Before you talk learn the meaning of that scarf on your neck,
Forget Nestle,
Obama promised Israel 30 billion over the next decade,
They’re trigger happy and they’re crazy,
Think about that when you’re putting Huggies nappies on your baby,

This is for Palestine, Ramallah, West Bank, Gaza,
This is for the child that is searching for an answer,
I wish I could take your tears and replace them with laughter,
Long live Palestine, Long live Gaza,

This is not just a war over stolen land,
Why do you think little boys are throwing stones at tanks?
We will never really know how many people are dead,
They drop bombs on little girls while they sleep in their beds,
Don’t get offended by facts, just try and listen,
Nothing is more anti-Semitic than Zionism,
So please don’t bring bad vibes when you speak to me,
I know there’s plenty of Rabbi’s that agree with me,
It’s your choice what you do with this message,
Don’t get it confused; I view this from a truly human perspective,
How many more resolutions have to be violated,
How many more children have to be annihilated
Israel is a terror state, there terrorists that terrorise,
I testify, my television televised them telling lies,
This is not a war, it is systematic genocide,
But whatever they try, Palestine will never die!!!

Ta'ayush

Ta'ayush

Sejarah kebangsaan juga bisa mengandung cerita kekejaman, meskipun sebuah bangsa semestinya dibangun dari ta'ayush.
Ta'ayush adalah kata Arab yang berarti "hidup bebrayan". Kata ini tak istimewa, tapi terasa luar biasa di sebuah negeri di mana "bangsa" bukan saja sedang terguncang sendi-sendinya, melainkan juga terancam oleh saling membenci. Negeri itu adalah Israel. Ia bulan ini ber-umur 60, dengan kegundahan yang dulu tak terbayangkan ketika ia dinyatakan berdiri pada 14 Mei 1948.
Di tengah kegundahan itulah pada tahun 2000 sejumlah warga Israel memakai ta'ayush untuk jadi nama sebuah organisasi. Ia terdengar seperti bagian dari sebuah agenda mulia namun mustahil. Tapi statemennya yakin:
Kami-warga Israel keturunan Arab dan Yahudi-hi-dup dikelilingi tembok dan kawat berduri: dinding pemisahan, rasialisme, dan diskriminasi...; dinding penutup dan pengepungan yang mengurung orang Palestina di daerah pendudukan di Wilayah Barat dan Gaza; dinding peperangan yang mengelilingi seluruh penghuni Israel, selama Israel jadi benteng bersenjata di jantung Timur Tengah....
Kami bergabung bersama membentuk "Ta'ayush", sebuah gerakan dari bawah masyarakat Arab dan Yahudi yang bekerja sama untuk membongkar tembok rasialisme dan pemisahan dengan membangun sebuah kemitraan sejati antara orang Arab dan Yahudi.
"Kemitraan sejati"-ketika dari Israel tak terdengar semangat yang universal, tapi "tembok dan kawat berduri"? Ta'ayush di tengah "pemisahan, rasialisme, dan diskrimi-nasi"? Keraguan seperti itu tak aneh bila terdengar di wilayah itu, yang selalu dekat dengan api kebencian yang murub. Tapi semangat organisasi ini bukan baru. Jauh sebelum Israel lahir, pada 1925 di wilayah Palestina berdiri Brith Shalom.
Organisasi ini-berarti "Kontrak Perdamaian"-hendak melaksanakan ide-ide Martin Buber (1878-1965), filosof Yahudi yang terkenal karena karyanya Ich und Du ("Aku dan Kau"). Buber bukan saja menentang kekerasan orang Yahudi ketika menghadapi orang Arab, melainkan menjauh dari arus besar nasionalisme dalam Zionisme. Berpindah dari Jerman yang menghalau dan membinasakan orang Yahudi, Buber datang ke Palestina. Tapi, berbeda dengan banyak Zionis lain, ia punya cita-cita tersendiri. Ia tak ingin sebuah republik Yahudi, tapi sebuah negeri dwi-bangsa.
Ia tak punya ilusi idenya akan diterima kaum nasionalis yang menggebu-gebu. Tapi, baginya, perjuangan tak hanya terdiri dari strategi politik. Buber bersuara terus, percaya bahwa kebenaran moral tetap penting biarpun terpojok. Bertahun-tahun lamanya ia dilupakan. Tapi mungkin ini tanda kegundahan Israel, bila kini pemikir-annya menarik perhatian lagi: sebuah kumpulan tulisannya diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 2005, dengan judul A Land of Two Peoples.
Tampaknya orang sedang mencari jalan dan harapan, ketika Israel harus memecahkan dilemanya yang terbesar. Republik ini berdiri dengan asas demokrasi (dulu ia demokrasi satu-satunya di Timur Tengah), yang mengakui mandat datang dari suara terbanyak warganya. Namun, sejak kemenangannya yang mengejutkan pada 1967, ketika Israel tak hanya punya sejarah yang panjang tapi juga peta bumi yang luas, republik itu harus mengakui: dulu ada masanya orang-orang Arab binasa atau terusir, tapi kini suara yang datang dari warga yang "lain" itu makin lama makin penting. Tiap tahun penduduk Arab tumbuh 2,5 persen; penduduk Yahudi hanya 1,4 persen. Sementara itu, Israel sekaligus menduduki wilayah Arab yang hanya bisa ia pertahankan dengan darah dan besi.
Maka kini paranoia, kebencian, dan kehendak destruktif merasuk di mana-mana-sebuah lingkaran setan, sebuah napas iblis, yang diperkuat dengan nama Tuhan di kedua belah pihak. Apa gerangan yang akan terjadi dengan Israel? Tidakkah Martin Buber dulu benar: Israel sebaiknya memang tak hanya semata-mata republik Yahudi? Dengan kata lain, masa depan adalah ta'ayush, dengan pelbagai versi yang mungkin?
Tak mudah untuk percaya. Harapan gelap. "Israel, seperti masyarakat mana saja, punya anasir yang buas dan mengidap patologi sosial," tulis David Shulman dalam Dark Hope: Working for Peace in Israel and Palestine, sebuah buku kesaksian yang sedih dari seorang anggota kelompok Ta'ayush. Tapi dalam 40 tahun terakhir orang-orang Yahudi yang destruktif telah dapat tempat, lengkap dengan dalih ideologisnya, dalam "usaha pemukim-an". Di pelbagai wilayah, tutur Shulman, orang-orang itu "punya kebebasan yang tak terbatas untuk menteror penduduk Palestina: menyerang, menembak, melukai, dan terkadang membunuh-semua atas nama apa yang dianggap kesucian tanah ini dan hak eksklusif orang Yahudi atasnya."
Mereka praktis tak bisa disetop. Tiap usaha mengatasi kebiadaban itu, tiap usaha perdamaian-juga dari peme-rintah Israel sendiri-terjerat dalam apa yang disebut Shulman sebagai "mesin yang rumit". Aparat pemerintah sipil, tangan militer dan polisi, jalin-menjalin secara sengaja dan tidak dengan para pemukim Yahudi, yang bisa begitu kejam hingga tega menebarkan racun ke ternak orang Palestina miskin penghuni gua.
Tapi gelap atau terang, harapan tak sepenuhnya padam. Terutama ketika ada orang Arab seperti Sari Nusseibeh, Rektor Universitas al-Quds, yang melawan represi dengan berani justru karena ia memakai cara damai. Atau orang seperti Shulman sendiri, seorang pengagum Gandhi. Atau Ezra Nawi, si Yahudi asal Irak yang menolong orang Palestina tak putus-putusnya: orang yang percaya bahwa manusia, juga dalam bentuk bangsa, perlu ta'ayush.
Untuk itu ide kebangsaan bukan hanya lahir dari -ingatan-satu tendensi yang dominan di Israel-tapi justru dari kemampuan melupakan. Tak mungkin bangsa akan tegak dengan kesetiaan primordial, apalagi dengan trauma dan saling dendam yang berakar.
Goenawan Mohamad 

http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/2008/05/12/CTP/mbm.20080512.CTP127098.id.html

Sunday, March 13, 2011

Agus Gumiwang Kartasasmita, Tanpa Persatuan, Kemerdekaan Bangsa Palestina Sulit Diraih


 


WAWANCARA

Minggu, 11 Juli 2010, 07:46:26 WIB

Agus Gumiwang Kartasasmita, Tanpa Persatuan, Kemerdekaan Bangsa Palestina Sulit Diraih

Anggota Komisi I DPR mengisi masa reses dengan berkunjung ke Jalur Gaza, Palestina. Anggota Dewan ingin melihat dari dekat penderitaan yang diderita rakyat Palestina akibat blokade Israel. 

Dalam kunjungan, rombongan yang dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita sempat bertemu kelompok Hamas dan Fatah. 

Kedua kelompok diimbau untuk bersatu guna mem­per­juang­kan kemerdekaan Palestina. Tanpa ada persatuan, menurut Agus, sulit untuk mencapai ke­merdekaan. 

Berikut Agus Gumiwang me­nuturkan kunjungannya ke Gaza ke­padaRakyat Merdeka. 

Saat reses ini anggota Komisi I DPR ke Gaza. Ngapain aja di sana? 
Kami di sana melakukan misi DPR yang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan. Pertama, Indonesia ingin menegaskan posisinya mengenai pencabutan blokade Israel atas Jalur Gaza yang telah menyengsarakan masyarakat Palestina di Jalur Gaza. 

Kedua, melalui kunjungan ini, In­donesia juga menegaskan du­kungan penuh terhadap kemer­dekaan bangsa Palestina dan berdirinya negara Palestina yang berdaulat. 

Ketiga, Pemerintah Indonesia memandang penting terciptanya rekonsiliasi Palestina sebagai syarat mendasar bagi tercapainya sebuah negara Palestina yang berdiri di tanah Palestina. 

Selain itu, kami juga me­nyam­pai­kan pada saudara kita di Pa­lestina bahwa Indonesia sudah me­nyiapkan dana 2 juta dolar Ame­rika untuk membangun ru­mah sakit di sana. Ketua DPR Mar­zukie Ali sudah meletakkan batu pertama awal pembangunan rumah sakit tersebut yang di­sak­sikan langsung oleh tokoh-tokoh Palestina di Gaza. 

Dan yang terpenting, kami sampaikan juga kepada warga Palestina disana akan pentingnya persatuan. Karena tanpa adanya persatuan, kemerdekaan bangsa Palestina akan sulit untuk diraih. 

Kelompok Hamas dan Fatah hingga kini terlibat konflik. Apakah DPR juga mengimbau agar kedua kelompok bersatu? 
Kami telah sampaikan kepada pimpinan dua faksi yang bertikai di Palestina, yakni Hamas dan Fatah. Kedua faksi itu mem­be­ri­kan penghargaan dan terima ka­sih kepada parlemen, pemerintah dan rakyat Indonesia atas du­kungannya pada perjuangan bang­sa Palestina. 

Kedua faksi itu juga meng­apre­sia­si inisiatif parlemen Indonesia yang ingin menjadi penengah atas ketidakharmonisan antara Hamas dan Fatah. Apresiasi dan peng­har­gaan tersebut diperoleh ketika delegasi parlemen Indonesia ber­temu dan berdialog dengan ang­gota parlemen dari kedua faksi terbesar dalam perjuangan ke­merdekaan Palestina meski upaya pertemuan tersebut sempat dihalangi Israel. 

Kami bertemu anggota par­le­men dari faksi Hamas di Gaza. Se­dangkan pertemuan dengan ang­gota parlemen dari faksi Fatah ber­langsung di Amman, Yordania ka­rena pemerintah Israel tidak mem­beri kami izin masuk ke Ramallah yang menjadi ibukota sementara Palestina maupun Yerusalem. 

Bagaimana upaya yang dila­kukan DPR untuk mendorong kemerdekaan Palestina? 
Ini sebenarnya upaya dan ha­rapan masyarakat Indonesia melalui DPR dalam mendorong kemerdekaan bagi Palestina. 

Semua tahu bahwa selama ini rak­yat Indonesia rutin mem­bi­ca­ra­kan kemerdekaan bagi Palestina. 

Tak heran, ketika publik men­de­ngar bahwa DPR akan mela­kukan kunjungan kerja ke Pa­les­tina, rakyat begitu antusias mem­berikan dukungan kepada kami. 

Apakah bangsa Palestina me­ngetahui bahwa masyarakat Indonesia saat peduli terhadap kemerdekaan mereka? 
Sangat tahu. Bahkan ketika ka­mi datang, Perdana Menteri Pa­lestina Ismail Haniyah me­nyam­but kami dengan baik dan me­ngatakan bahwa dirinya sangat bangga dan terima kasih kepada rakyat Indonesia. Sebab, selama ini menurutnya berjuta-juta rak­yat Indonesia selalu ber­de­mon­strasi untuk mendukung Pa­lestina merdeka. 

Ketika di Yordania, kami sam­pai­kan bahwa menyangkut soal Pa­lestina, Indonesia itu adalah ne­gara yang unik. Kalau ada s­e­suatu yang kecil saja merugikan rakyat Palestina, di Indonesia dari wilayah ujung timur ke ujung barat akan menggelar aksi unjuk rasa tentang penolakan yang terhadap insiden yang merugikan rakyat Palestina. 

Jadi, ketika ada kejadian yang menimpa bangsa Palestina, maka 240 juta rakyat Indonesia akan bersatu menyatakan perlawanan. Me­reka bisa melupakan dulu ma­salah ekonomi, politik, hukum dan sosial yang sedang terjadi. Ma­­kanya, ketika kami memutuskan untuk pergi ke jalur Gaza, maka kunjungan ini menjadi kunjungan kerja parlemen yang didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia. 

Apakah Komisi I sempat mem­b­icarakan soal penghen­tian konflik di Gaza? 
Di sana kami menyampaikan pentingnya persatuan Palestina dalam menghadapi berbagai gempuran yang kerap terjadi. 

Saya yakin, kalau seluruh la­pisan yang ada di Palestina ber­satu, kemerdekaan yang diharap­kan bisa terwujud. 

Ada hal yang menarik yang ka­mi tangkap bahwa tragedi kapal Mavi Marmara ternyata telah membawa hikmah bagi Palestina. 

Ada faksi di Palestina yang me­nyatakan pentingnya per­satuan dan menghargai kedaulatan Pa­lestina. Artinya, ada momentum bah­wa pada saatnya nanti Pa­les­tina akan memperoleh ke­mer­dekaan karena persatuan mulai terbangun. Tinggal sekarang ba­gai­mana kita mengkampanyekan kepada dunia untuk kemedekaan bagi Palestina. 

Apakah DPR juga bertemu pihak Israel? 
Tidak. Karena negara kita tidak mem­punyai hubungan di­plomatik dengan Israel sehingga kita tidak bisa bertemu begitu saja. 

Dalam kunjungan kami ke Jalur Gaza, kami merupakan pejabat resmi pemerintah. Kami akan melanggar hukum dan bisa dipenjara kalau kami mendatangi Israel. Kecuali untuk media atau masyarakat biasa, tidak ada masalah ketika mau datang ke Israel asal memenuhi persyaratan yang ada. 

Banyak relawan dari In­do­ne­sia yang hendak pergi ke Gaza. Apa sempat dibicarakan me­nge­nai keselamatan para relawan? 
Kalau memang masih banyak relawan yang ingin berangkat ke jalur Gaza, itu tidak masalah. Bahkan saya berharap agar re­la­wan Indonesia tidak berhenti da­tang ke jalur Gaza hanya karena telah tragedi Mavi Marmara. 

Mengenai keamanan mereka di sana, saya pikir para relawan sudah mengerti betul siapa yang akan dihadapi dan risiko apa yang akan terjadi. 

Apa tindak lanjut dari kun­jung­an ke Gaza? 
Kami akan rumuskan dan sam­paikan kepada presiden ten­tang apa yang kami tangkap selama kun­jungan kerja di sana. Mi­sal­nya masalah penderitaan rakyat Palestina karena konflik yang terjadi selama ini. 

Kami pikir, di antara pemerin­tah dan DPR tidak memiliki banyak perbedaan. Pertama, kami ti­dak berbeda dalam hal men­de­sak terbentuknya tim pencari fak­ta yang independen yang di­mo­nitor­ oleh masyarakat Interna­tio­nal terkait tragedi Mavi Marmara. 

Kedua, kami sama-sama men­du­kung diakhirinya isolasi di Gaza. Namun untuk mendukung per­satuan di Palestina, saya be­lum tahu posisi pemerintah dalam hal ini. Tapi saya yakin bahwa pandangan pemerintah sama dengan pandangan dari DPR mengenai pentingnya persatuan rakyat Palestina dalam meraih kemerdekaan. 
http://www.rakyatmerdeka.co.id/wan/hal/1/view/549/Agus-Gumiwang-Kartasasmita,-Tanpa-Persatuan,-Kemerdekaan-Bangsa-Palestina-Sulit-Diraih